RUMAH IBU

foto by:Google

Keluarga baru dikaki lembah lereng lembah puncak tertinggi jawa, masih dalam pelukan ibu pertiwi, kebiasaan warga tengger di pagi buta sudah berkumpul bercengkrama  dalam hangatnya tungku didapur yang mulai lusuh. Kobaran api yang menyala nyala ikut membakar suasana pagi itu. Terbangun dari remuknya badan memaksa mata yang tadinya terpejam kubuka lebar-lebar, nafasku masih dikandung badan pertanda Tuhanku masih meminjamkan nyawa untukku hidup. Kulirik jam di sebelah kiriku waktu menunjukkan pukul 06.30 nampaknya aku tertidur selepas sholat subuh dengan balutan mukena yang kukenakan dan belum terlepas dari badanku. Sang kawan juga sudah bangkit dari lelapnya, Sang ibu dengan lembut menyapaku untuk bergabung bersama keluarganya dan aku sudah tidak dianggapnya tamu, tapi seperti anak sendiri, warga tengger yang ramah membuatku betah disini, damai , sejuk, tapi jangan heran tiap pagi sempat kutemui salju dan es berkristal di kebun- kebun warga, yang mayoritas penanam, bawang, kentang ,sawi putih dan beberpa sayuran agaknya jarang kutemui tumbuhan padi tumbuh disini, seperti pertaniaan dan kondisi alam, serta tanah tidak mendukung jika padi tumbuh disini.
Meski kami tak satu rahim terasa sekali kehangatan disini, menikmati kentang panas yang baru saja sang ibu goreng dan secangkir kopi yang beruap. Mayoritas warga disini jarang minum air putih, padahal sedingin cuaca dimanapun tetap tubuh membutuhkan asupan air putih. tidak ada ruang tamu untuk menjamu tamu, karna siapapun tamu yang mampir kerumah warga di ajaknya duduk bersama menikmati hangatnya tungku panas dan secangkir kopi panas khas buatan warga tengger.
Dalam dekapan dingin siang hari masih segar ingatan kami berhari-hari mendekap di belantara. Terdengar lagi gelak tawa dan decak kagum cerita kami tentang ganasnya malam perkat perjalanan turun ke rumah ibu.

Ranupane, 26 juli – 01 agustus 2017
By: Perindu Edelweis



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama