Gelapnya belantara,
begitu cepatnya berganti gedung pencakar langit, sunyi malam berganti riuhnya
kuda besi, gagahnya puncak berganti polusi yang membumbung mengotori langit
biru dan merubahnya menjadi ke abu-abuan, sejuknya rindangan pohon berganti
membakar emosi. Begitulah pengapnya kota ini.
Bosan begitu umpatanku
keluar dari mulut, kembali berkutat dengan segudang perkerjaan, begitu otot
syaraf rasanya mulai tertekan lagi. Akhirnya kulirik jendala kamar, dari sebrang
terlihat pemandangan bapak dan ibu-ibu yang manawarkan jasanya, sempat teringat
kala menaiki kendaraan umum perjuangan bapak tua dengan baju lusuhnya duduk
disampingku dan beliau menangis, kutahan pandanganku, tak terasa pula kuhanyut
mengikuti mimik bibirnya, kemudian bapak tua itu menatapku sejak tadi dan
berpesan, “nak, belajar yang rajin ya, jadilah orang sukses”, pesannya,
kuiyakan dengan tampang ibaku dan agak aneh, kemudian dia lenyap di terminal
lama kota kediri. Mungkin dia teringat anaknya kala melihat tampangku yang sok
mahasiswa.
Hidup, hah sementara
kuhidup dikota pahlawan, tapi apa masih pantas kota metropolis terbesar kedua
setelah jakarta ini disebut kota pahlawan lagi, sepertinya kata pahlawan sudah
tenggelam dengan pribumi yang malah jadi minoritas sementara kaum bermata sipit
seenaknya membangun negara sendiri, begitu juga dengan simiskin yang semakin
miskin di gerogoti sikaya yang semakin kaya dan menjadi- jadi keangkuhannya,
tak tau malu kerngitku. Bahkan si metropolis ini masih menyimpan germong-
germong bisnis prostitusi terbesar. Semakin tenggelam juga kirap budaya jawa
disini, padahal kota pahlawan merupakan ibukota jawa timur.bagi warga awam
mungkin pondok- pondokan pesantren sudah sepeerti sama dengan dirinya rantaunya
mereka hanya untuk mencari kepastian yang kadang nyatanya tak ia temui
kepastiannya.
Kututup lagi jendela
kamarku yang sedari tadi terbuka hanya untuk melirik para warga Bercengkerama,
ntah apa yang mereka bicarakan sedetik kemudian buyar tanpa salam. Begitulah sehari-harinya.
Kurebahkan lagi badanku,
kutatap langit- langit, entah hanya perasaanku atau halusinasiku bahwa tembok
di sisi kamarku semakin menghimpiku, dan menterlelapkanku dalam bayangan mimpi.
Surabaya,
18 agustus 2017
By:Perindu Edelweis
Tags
kata mutiara