ANTARA BARA, AKU, KAU DAN MEREKA

                        
Harus kuakui kau adalah asing tak teraba, lalu berjalan pelan bagai arus yang menyeret antara aku dan kau, yang tanpa kusadari kapan awal maupun akhirnya.
Kala itu...
Kau ceritakan bagaimana nikmatnya menggigil kedinginan ditengah pelukan gunung, kabut dan hujan. Tertawa lepas saat kawan seperjalanan terpeleset atau terisak haru bagai anak kecil kala menemukan jasad yang menyerah pada alam.
Katamu alam tak pernah bisa ditaklukkan, karena dia memiliki aturan - aturan tersendiri. Lalu keluar lagi ceritamu tentang anak muda yang sudah terseret modernitas, serta suasana terik matahari surabaya yang sudah mengalami global warming. Dan para penduduk yang wajahnya tak pernah bergulat dengan duka beban hidup yang semakin menghimpit.
Aku tau jalinan suku kata yang terangkai tak mampu merangkum semuanya. Mungkin mendung yang meningkir lebih paham tentang diriku. Atau keegoisanku yang mampu menterjemahkan semuanya yang terbenam malam ini. Atau akan abadi seperti sang edelweis beserta pesan terakhirku.
Seperti sajaknya begini mungkin..
Bila usiaku telah usai...............
Izinkan aku pergi tanpa genangan air matamu.........
Karna diriku, dan usiaku bukanlah aku yang punya.......
Tapi satu pintaku.................
Bila waktuku tiba...............
Doakanlah aku.................
Dan taburkan setangkai edelweis basah di pusaraku..........
Aku pergi ketempat yang damai............
Seperti kamu, yang abadi dalam hatiku...............................





Surabaya, 20 agustus 2017
 by: Perindu Edelweis

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama