Pagi buta, nampaknya
hening, mulai kuseduh coklat panasku dan kunikmati dipinggiran danau. kata sang
penjelajah inilah surganya sang puncak abadi para dewa.
Kerinduan akan sapaan
sang mentari menarikku kembali ketempat ini. Dimana kakiku pernah berpijak
ditempat yang sama beberapa tahun silam. Nampak banyak yang berbeda, meluapnya
air danau dan semakin tenggelamnya plakat penunjuk arah ke kalimati. jauh dari
sebrang warna warni tenda menghiasasi pinggiran danau.
Ternyata sang mentari
semakin meninggikan level teriknya. Bergegas kukemas kembali barang-barangku.
Dan kutinggalkan jejak di sudut pinggiran tadi tentang kerinduanku
bercengkerama dengan kawan sejatiku, yang kini tergantikan kelurga baru entah
darimana kami dipertemukan.
Malam itu sang pemuda
berkisah, berkeluh kesah tentang kelakuan kawan yang kadang menyayat hati, cerita
konyol, sedih bahkan curhatan untuk sang kekasih yang disimpannya dalam diam. sepasang
telinga masih setia mendengar ocehannya, bahkan semakin larut gelak tawa masih bersayup
di peluk malam dilembah sunyi tak bernyawa.
Tampaknya memory malam
itu juga sedikit menyesakkan dada, dingin yang menggigit, derapan kaki dan
long-longan anjing mewarnai kecemasanku, bahkan semakin berisik mengganggu
telingaku. Perasaan gundah semakin mencekikku, mata yang tak kunjung terpejam
sampai gemuruh suara perutku ikut berirama. Tiada henti mulutku bersautan
dengan hatiku panjatan Doa kepada Sang Kekasih hanya untuk meminta, kembalikan aku dalam keadaan
selamat agar aku segera pulang dari petualannganku dan berpeluk kembali
kepangkuan cintaku.
Nama rabbyku sembari
berjalan tetap kusematkan dalam hati, mulutku mulai basah dengan doaku, sampai
terbesit dalam pikirku andai aku tewas dalam perjalananku masih kusebut
keaguganganMu. Semakin sempit aku bernafas, kerongkonganku mulai kering dan
kantukku semakin memberatkan pandangaku. Keegoisanku menyeru keras aku tetaplah
berdiri di tanah berpasir bukan untuk mengangkuhkan diri, namun hamba hina itu berusaha
merendah - serendah rendahnya.
Hambaran bintang dalam
bekunya sepertiga malam yang bersamaiku mematikan jari-jariku, kuangkat wajahku
masih jauh ternyata, masih dilereng terjal bebatuan yang tak segan
menghancurkan kepala bahkan menyesatkan diri, blank 75 mereka sebut. Karna
beban kantuk jasadku menyerah. Kanan kiriku jurang yang mengangga seakan dia
lapar ada onggokan daging terdampar di bibirnya. Kemudian aku cepat tersadar
karna dengan terpaksa sang kawan menyeretku membangkitkan jasad yang hampir
lunglai. Perjalanan terus berlanjut, hingga kaki ini semakin rapuh seakan tak terasa
menapak. Teriakan dan sorotan headlamp menempus pelipis mataku. Tak terasa kita
sampai dipuncak abadi sang dewa. Kepalaku segera kutundukkan dan kusujudkan,
bergegas para lelaki muda itu menumandangkan seruan ibadah subuh. Tepat iqomah
berkumandang sang saloka menggelegar kan menumpahkan abu vulkaniknya di atas
sujud dan doa kami, lagi- lagi andai aku tewas pagi ini aku sudah dalam keadaan
menjalankan kewajibanku.
Bibirku mengembang kala
sang fajar semakin menampakkan keindahannya, takjub serta haru bahwa diri ini
tidak ada apa-apanya. Teringat pesan sang pejalan yang kutemui tempo hari
kembalilah membawa harapan dan cerita baru, serta coretan dikertas bahwa aku
pernah berdiri disini, pernah membawa dan mengabadikan nama yang kutuliskan,
perjalnan yang menggambarkan cinta, perjuangan antara jasadku kembali hanya
dengan sebuah nama atau lengkap dengan nyawaku. Apa harus kusiapkan plakat
seperti mendiang Soe Hok Gie yang menyatu dengan alam kembali tepat di umurnya
yang ke 27 tahun. Tewas dalam pelukan sang Mahameru. Akupun merasa menang,
merdeka, karna perjalananku hampir usai, pikirku..ah, bukan ini hanya penyalur
hobi, sebagai pembelajaran bahwa dalam setiap perjalanan banyak pelajaran yang
diambil.
TNBTS,
19 juli - 26 2017
By: Perindu Edelweis
Tags
kata mutiara