Langit merbabu

Langit merbabu..

Rindu adalah perasaan tersakral dalam kesepian dan sebuah seni terindah dalam kesendirian.

Diketinggian 3142 mdpl ini pandanganku menjangkau jutaan hektar daratan hijau di bawah sana,  tak terlukiskan keanggunannya. Awan tipis berarak perlahan di sisi kiri, menghampiriku,  menjemput jiwaku untuk bertengger dipermukaannya. Sang gagah, Merapi, yang berdiri angkuh di hadapanku terlihat menyemburkan asap tebal sisa erupsi tempo lalu. Tampak begitu dekat, tetapi jauh. Aku dan keindahannya bagai dua jiwa yang tengah bergumul hebat menjadi satu. Getaran di dadaku mengalirkan kehangatan,  membunuh kerinduan kepada sosok yang terjarak bersekat tanpa ku tau dimana sosoknya.

Sejenak aku mengenyahkan penyesalanku,  sejak remaja aku memang menggilai alam, terutama gunung, sebagian  besar Puncak-puncak gunung dinegri ini sudah mengecap jejak kakiku tanpa hambatan berarti. Kali ini merbabu pertama kalinya aku menyambangi tanah yang memiliki panorama bak replika nirwana ini.

Ada sebuah kutipan yang pernah kubaca "suatu bangsa tidak akan pernah kekurangan pemimpin apabila generasi mudanya gemar mendaki gunung ".
Dan aku setuju.  Menapaki gunung sama halnya seperti kamu menapaki diri sendiri. Bukan untuk menaklukan ketinggian, melainkan menaklukkan diri sendiri. Bukan untuk memimpin orang lain, melainkan memimpin diri sendiri. Perjuangan yang akan membuatmu tang sanggup menyangkal sesuatu yang sakral, seseorang yang mencapai Puncak gunung menjadi saksi akan keindahan semesta. Ia tidak akan bisa menjangkau akan kebesaran TuhanNya Rabby izzati.

Jika kamu bertanya kenapa aku begitu suka naik gunung?  Aku rasa sulit mengurai jawaban itu kedalam bentuk suara ataupun kata. Digunung hanya terdapat sesuatu yang bisa dirasa, bukan di jelaskan kata. Kakimu harus berpijak disana untuk mengerti jawabannya.

Mataku menjelajahi samudera sabana. Panorama inilah yang menjadikan alasanku kembali. Disini aku bisa menemukan diriku sendiri lebih dalam, lebih dari yang sanggup dilakukan cermin. Menemukan lebih banyak senyuman dan sapaan, lebih dari yang bisa kutemukan dikota. Bahkan dengan mendaki aku bisa melihat segalanya dengan jelas, segala sesuatu yang tak terlihat dari jarak dekat. Lihatlah kesini lebih jauh maka kau akan mengerti semua itu.

Pukul 22.15 Rama kembali meminta kami melanjutkan perjalanan yang masih panjang. Masih harus menyusuri jalan menurun sekurangnya 4 jam lagi dalam kondisi normal. Makin malan cuaca semakin menusuk. Mesti tak se extream mimpiku, tak bisa kupungkiri sapuan angin yang melancarkan serangan cukup membuatku kewalahan. Kondisi fisikku mrndadan menurun seperti jalanan yang kulewati. Belum pernah aku seperti ini sebelumnya.

Beberapa kali dari arah belakangku terdengar sahutan orang dan derap kaki,  namun tetap sunyi dan aku menghentikan langkahku. Sahutan orang itu tak terdengar lagi. Tapi mata batinku mendadak merasakan kehadirannya lagi. Kengerian yang muncul di detik berikutnya menjalar cepat dari ujung kaki hingga kulit kepala. Rasanya seperti dijambak ketika suasana itu mengendalikanmu penuh. Bagai perangkap yang siap menjebak dirimu sendiri.

Beberapa meter dari belakangku, kudengar suara berat dihela berkali-kali. Serak dan parau. Dari suara itu kubayangkan pemiliknya berukuran tubuh tinggi besar dan rasanya hendak menerkamku. Jantungku semakin berdebar dan nyaliku belum cukup prima untuk melabuhkan pandangan. Apa gerangan yang dia inginkan apa yang membuatnya mengikuti kami?  Siapa di sebenarnya?

Ya nyaliku harus perkasa!
Tanpa pertimbangan lagi. Seceepat kilat kuputar tubuhku kebelakang, lalu kusorotkan senterku ke arah pemilik nafas itu. Terbentuk sempurna oleh sapuan cahaya senterku. Seluruh sel-sel di tubuhku terurai bak di terjang badai.

Selain mulut yang menganga menahan kalut manut tak ada suara yang keluar dari bibirku. Gemetar. Lampu senterku padam sejak bentuk paras itu terekam jelas di ingatanku dan aku kehilangan kesadaran diri. Sebagian dari diriku telah terbunuh sejak tadi. Aku mati berdiri.

Batinku melonglong seakan segalanya telah direnggut malam ini hingga dekapan itu lepas. Sebagian jiwaku tetap lenyap dirampas penyesalan. Jiwaku pincang.

LAUTAN KAPAS BERARAK MELINGKUP PASIR GALAKSI.
JUTAAN KELIP MULAI TERBUNUH SATU-PERSATU.
EKUATOR LANGIT TAK LAGI MENGENAL MERIDIAN.
GUGUSAN GUNUNG TELAH ENGGAN MENYAPA DATARAN..
TAK HABIS TERBAKAR KETIKA PANASNYA MENGHANTAM RAGA.
AKU KEHILANGAN DIRI SENDIRI DI TANAH YANG KUBANGGAKAN.
PADA SAAT MENCINTA MELAMPAUI KEELOKAN CAKRAWALA DARI KETINGGIAN...

Perindu Edelweis
Surabaya,  31 oktober 2017
14.39

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama